Berbaurlah, tapi Jangan Lebur

January 29, 2015



Ketika membaca beberapa tulisan di Facebook,  saya temukan cerita cukup bagus, kisahnya mengambarkan kondisi yang terjadi kini,  di lingkungan sering saya jumpai jenis orang seperti yang dikisahkan dalam tulisan itu. Baiklah langsung dibaca saja ya tulisan yang saya maksud.

**Lahiwa Abda namanya. Biasa dipanggil Iwa. Mahasiswa tingkat tiga perguruan tinggi negeri ternama di Ibukota. Tinggal di komplek mewah kawasan Jakarta Selatan. Pergi dan pulang kuliah nyetir mobil sendiri. Lahir dan besar dari keluarga berada. Ekspresi dan penampilannya selalu rapi, bahkan terkesan “licin”. Mungkin itu yang membuatnya mudah dikenal. Apalagi ia memang pandai bergaul dan agak ‘royal’.

Ada darah agama dalam dirinya. Kakeknya tokoh organisasi Islam terkenal, yang kiprahnya hingga tingkat propinsi di Sumatera. Dan ayahnya, masih mewarisi sebagian darah agama itu. Sejak kecil Iwa mendapat didikan religi. Lumayan. Setidaknya, ia cukup sukses melalui bangku SMA tanpa konflik psikologis yang berarti. Lulus dengan menggembirakan, meski tak hebat-hebat amat.

Masa-masa awal kuliah mengantarkan Iwa pada dunia baru yang lebih bebas. Syukurnya, kondisi itu tak sampai menggoyahkan kepribadiannya. Namun seiring pencarian jati dirinya sebagai orang muda, Iwa mulai goyah. Tak sadar sebuah proses degradasi secara perlahan terjadi. Pelan, bahkan nyaris tak terasakan. Terlampau banyak ia berguru pada kawan-kawannya yang sangat liberal. Mulai dari pola pikir hingga soal definisi moral yang jungkir balik. Di akhir tingkat tiga kuliahnya, banyak kesalahan fatal telah ia lakukan. Itulah yang mengantarkannya kepada situasi jiwa yang sulit ia jelaskan.

“Entahlah, saya pun sering bingung dengan diri saya sendiri,” ucapnya dengan tatapan kosong.

**Gueita, mahasiswi. Susah panggilannya: Giuit. Fakultas dan jurusannya terkait dengan obat. Universitasnya swasta, bonafid dan terpandang. Di kampus, Giuit sangat aktif berdakwah. Karirnya sebagai ‘pejabat’ di organisasi dakwah kampus juga cemerlang. Ia memang sosok pemikir. Tapi kalau diserahi urusan teknis bisa dipastikan berantakan. Sudah beberapa kali pengalaman berbicara. Karena ia lebih cocok menjadi penyumbang gagasan, pengatur strategi, dari pada sebagai pekerja lapangan.

Itulah kelebihan Giuit, juga mungkin sekaligus kelemahannya. Manusia memang unik. Kadang batas antara kelebihan dan kelemahan sangatlah tipis. Masalahnya, Giuit sulit menyikapi realitas dunia mahasiswa yang banyak bertabrakan dengan keyakinan-keyakinannya. Ia sangat enggan bertegur sapa dengan orang-orang yang tidak sepaham dengan dirinya.

Mulanya ia beralasan untuk menjaga dirinya, takut larut, katanya. Lama-kelamaan, seiring bertambahnya pengetahuan Giuit tentang Islam, ia lebih menikmati dirinya sendiri. Kadang kala ia mengeluh, karena sulit mentransformasikan dirinya dalam dunia mahasiswa secara umum. Padahal, untuk memperoleh lobi dan dukungan yang kuat semestinya ia juga mengembangkan isu-isu yang mencakup selurut civitas akademika. Setidaknya yang menjadi hajat hidup masyarakat kampus, dari mahasiswanya sampai satpamnya, dari dosen sampai tukang sapunya.

“Sering juga saya merenung. Tapi tak mudah meredam perang batin yang luar biasa, tatkala realitas yang saya lihat tak seindah idealisme yang saya yakini,” tuturnya.

Secara tak disengaja telah terbangun dalam pikirannya sebuah stereotipe tentang ukuran baik-buruknya seseorang. Sebagian dari ukuran-ukuran itu memang benar, tetapi tak sedikit pula yang salah. Utamanya ketika ia memaksa menyeragamkan standar keshalihan. Nyaris tak memberi ruang untuk keberagaman. Padahal manusia lahir dengan kemampuan beragam. Maka semestinyalah keshalihan orang beragam pula.

**Namanya Matenan. Kawan-kawannya sering memanggil Mamat, atau lebih sopannya Bang Mamat. Umurnya masuk kepala empat. Sedikit lagi berkepala lima. Sehari-hari mengayuh sepeda dengan tong-tong berisi tahu. Ia memang pedagang keliling tahu mentah. Mengontrak di kawasan Manggarai. Anaknya tiga, yang tertua kelas tiga SMP. Kawan-kawan Bang Mamat beragam. Dari sebuah desa di Jawa Tengah ia pergi bertujuh ke Jakarta. Empat orang berdagang tahu, sisanya lagi berjualan sayuran.

Beberapa minggu lalu, Bang Mamat menemukan sebuah tas berwarna hitam. Di dalamnya, ada dompet dengan uang tiga ratus ribu rupiah, kartu identitas, beberapa kartu nama, dan dua pas photo wanita berjilbab. Di tas itu, juga ada beberapa buku catatan, surat-surat berkop sebuah perusahaan, tempat bedak kecil Mustika Ratu, serta handphone.

Apa yang dilakukan Bang Mamat? Bersusah-payah ia mencari alamat pemilik tas itu. Tiga kali ia datang, dan baru yang ketiganya ia berjumpa dengan pemiliknya. Ternyata seorang muslimah yang photonya ada di dompet itu. Dengan tegar, ia kembalikan semua barang-barang itu. Seorang tetangganya sudah menawar setengah juta untuk handphone itu. Tetapi Bang Mamat tetap gigih. Ia mencoba mengajarkan kejujuran kepada kawan-kawannya. Meski untuk itu tidaklah mudah.

“Ini bukan milik saya, saya harus kembalikan kepada yang punya,” begitu kenangnya.

Ketika mengembalikan tas itu, ia ditemani anak tertuanya. Nampaknya ia juga hendak mengajarkan kejujuran kepada anaknya itu. Kala wanita pemilik tas itu hendak memberinya tanda terima kasih, Bang Mamat bersikeras menolak. “Biarlah Allah yang membalas. Mbak doakan saya saja,” begitu jawabnya. Akhimya pemilik tas itu memaksa anak Bang Mamat untuk mau menerima tanda terima kasihnya.

Tidak mudah memang, bergaul dengan kehidupan masyarakat yang sangat beragam. Apalagi bila pada saat yang sama kita juga dituntut tetap eksis, survive, dan tetap istiqomah. Ibarat berenang di air asin, kita seperti berjuang untuk bisa mengapung dan tidak tenggelam, karena di situlah letak kehidupan kita. Tetapi pada saat yang sama kita dituntut bagaimana tidak turut menjadi asin.

Logika ini berlaku untuk setiap muslim, untuk setiap aktifis dakwah, juga untuk setiap orang yang ingin menyeimbangkan antara eksistensi dirinya sebagai muslim dengan eksistensinya sebagai makhluk sosial. Menyeimbangkan antara tuntutan dirinya sebagai hamba Allah dengan tuntutan dirinya sebagai anggota masyarakat. Baik masyarakat kecil di keluarganya, masyarakat sedang di lingkungannya, atau masyarakat besar di dunia ini. Ya, itu merupakan tuntutan menyeimbangkan antara idealita dan realita. Karena alam realita memiliki sunnahnya sendiri, sebagaimana alam idealisme memiliki sunnahnya sendiri.

Logika ini juga berlaku bagi komunitas apa pun, bagi sebuah golongan seperti apa pun. Apalagi bagi sebuah organisasi dakwah atau jama’ah dakwah. Itu pula yang mengantarkan kita kepada logika bahwa dunia ini sangat beragam isinya. Di tengah keberagamannya itu kita hidup. Agama ini juga tidak mengajarkan agar kita membangun sebuah ekslusivisme yang sempit. Kalaulah itu yang dimaksud Allah dalam penciptaan manusia ini, tentu apa arti firman-Nya yang menjelaskan bahwa manusia diciptakan berbangsa dan bersuku untuk saling mengenal.

Keberagaman isi dunia menjadi sunnah tersendiri bagi kehidupan ini. Ia semacam ekosistem yang saling kait mengait, tunjang-menunjang, dukung-mendukung. Orang miskin ada untuk menjadi tempat bersedekah bagi orang kaya. Orang bodoh ada untuk tempat beramal bagi orang-orang pintar. Orang besar ada untuk membantu orang-orang kecil. Manusia, dengan beragam suku, bangsa, ras, bahasa, budaya, dan cita rasanya, adalah khazanah kehidupan yang niscaya ada.

Hanya saja, seperti kisah tiga orang di atas, Iwa, Giuit, dan Bang Mamat, seperti itu pula kira-kira tipologi seorang muslim dalam berinteraksi dengan belantara kehidupan dunia ini. Ada yang luntur dan lebur, ada yang teguh tetapi mengambil jalan yang kurang bijak: menutup diri dan lebih suka pada klaim-klaim. Dan, yang ketiga, mereka yang tetap tegar di tengah kondisi apa pun.

Segalanya berpulang kepada kita masing-masing. Karena tuntutan Allah agar kita menjaga diri dari api neraka, misainya, juga diiringi dengan perintah menjaga keluarga: masyarakat terkecil kita. Dalam lingkup masyarakat yang lebih besar, Allah mengancam orang-orang yang masa bodoh dengan kondisi masyarakat yang rusak. Kelak, bila Allah menurunkan adzab-Nya, orang-orang baik yang tak peduli dengan kerusakan itu justru yang pertama diadzab.

Kita memang harus berbaur dengan masyarakat, tetapi tidak melebur dalam kerusakan mereka. Wallahu ‘alam bishawab.

Sumber: Tarbawi Edisi 13 Th. 2 Oktober 2000 M/2 Sya’ban 1421 H

You Might Also Like

0 comments