Kisah Monumental Imam Asy-Syafi’i
January 10, 2015
Pada kesempatan ini saya ingin
berbagi kisah monumental sejarah perjalanan hidup seorang anak yatim yang terlahir dari keluarga
sederhana hingga menjadi seorang ulama ternama. Beliau adalah pelita para
ulama, sastrawannya para ahli fikih, ahli fikihnya para sastrawan, serta akhlak
dan fisiknya nyaris sempurna. Begitulah yang digambarkan oleh orang-orang yang mengenalnya.
Beliau berjuang melawan duri-duri kesulitan hingga sampai di taman-taman ilmu.
Sejarah telah mencatat perjalanan hidupnya dengan tinta cahaya. Semasa hidupnya
Beliau selalu membentangkan kedua tangannya untuk berinfak dan menggariskan
senyum pada bibir yang tidak pernah tersenyum.
Beliau adalah lautan ilmu sekaligus imam bangsa Arab.
Beliau merupakan salah satu dari
imam empat bagi Ahlus-Sunnah, sekaligus pendiri Madzhab Syafi’i.Muhammad bin Indris bin al-Abbas bin Syafi al-Hasyim al Qurasyi
adalah nama lengkapnya. Beliau lahir di Asqalan daerah yang terdapat di kota
Gaza pada tahun 150 H. Kemudian ibunya membawa ke makkah, untuk tinggal bersama
keluarga sang ibu. Saat itu beliau masih kecil dengan kulis yang masih halus. Beliau
sangat peduli kepada Al-quran, kecintaanya hingga menghafalnya. Selanjutnya beliau
pergi ke pedalaman dan mengumpulkan ilmu tentang syair, bahasa arab, dan
sejarah bangsa-bangsa selama dua puluh tahun.
Beliau berkata, “Apa yang
kulakukan itu hanya untuk membantu pemahaman.”
Beliau menghafal kitab
Al-Muwaththa di waktu kecil. Beliau datang kepada imam malik dan membacakan
kitab yang telah dihafalnya itu kepada imam malik. Imam malik pun terkagum-kagum dengan bacaan dan bahasa
Arabnya. Selanjutnya beliau pergi menghadap kepada para ulama Makkah dan minum
dari mata air mereka yang jernih. Dengan kepandaian dan akalnya yang cerdas,
beliau mampu mengungguli teman-teman sebayanya. Beliau adalah seorang yang
murah hati, dermawan, fasih, bijaksana, dan mahir dalam mengambil pengertian.
Masa Kelahiran dan Menuntut Ilmu
Dikisahkan dari kitab Manaqib li asy-Syafi’i pengarang
al-Baihaqi. Ditengah taman kenangan dan kerinduan masa lampau, beliau berkata
kepada al-Baihaqi(1), “Jangan sampai kamu tersibukkan dengan hal itu
dan fokuslah kepada hal-hal yang bermanfaat untukmu.” Maka kuletakkan
semangatku pada ilmu dan kucari ia, hingga Allah menganugerahiku ilmu ini.” (2)
Kegairahanku terletak dalam dua
hal, yaitu memanah dan mencari ilmu. Dalam keahlian memanah, aku berhasil
menembakkan sembilan dari sepuluh anak panah dengan tepat mengenai sasaran.”
Imam Asy-Syafi’i tidak bicara
mengenai keahliannya dalam bidang ilmu, karena kesopanan dan sikap tawadhunya. Bagaimana
ia menjaga dirinya agar terhindar dari sifat sombong, seolah tak ingin
menampakkan berapa banyak ilmu yang diketahuinya, padahal beliau memiliki banyak
pengetahuan.
1 al-Baihaqi adalah
pengarang kitab Manaqib li asy-Syafi’i
2 Lihat Manaqib li
asy-Syafi’i karya Al-Baihaqi (1, 73/74)
Keunggulan Asy-Syafi’i dan Kewara’an Seorang Pengajar
Sejak kecil, Asy-Syafi’i menjadi
istimewa dengan keunggulan, kemahiran,
dan kelebihan dalam menuntut ilmu serta kecintaan terhadap-Nya. Inilah beliu,
saat mengisahkan kegairahannya terhadap ilmu serta keunggulan beliau dalam
ilmu.
“Semasa masih di sekolah dasar,
aku selalu mendengar pengajar yang mendiktekan ayat kepada anak-anak kecil,
lalu aku menghafalnya. Anak-anak kecil itu terus mencatat apa yang didiktekan
kepada mereka, hingga sang pengajar selesai mendiktekan. Ketika itu, aku telah
hafal semua yang didiktekan oleh sang pengajarku.
Ketika sang pengajar melihat
kecakapan Asy-Syafi’i dan hafalan beliau terhadap ayat-ayat sebelum dibacakan
kepadanya, maka dia berkata kepada Asy-Syafi’i dengan sikap wara’, “Aku tidak
halal mengambil satu upah pun darimu.”
Semangat Asy-Syafi’i dalam menuntut ilmu
Di dalam kebahagiaan dan
kegembiraan, Asy-Syafi’i membiarkan akalnya bertamasya di masa kanak-kanak. Kemiskinannya
tidak menghalangi beliau untuk mendapatkan ilmu. Ketika telah hafal Al-quran, beliau
masuk mesjid dan duduk dalam satu majelis dengan para ulama. Ia mendengar hadis
dan berbagai masalah, lalu menghafalnya. Ibunya tidak memiliki uang, bahkan
untuk membeli sercacik kertas. Imam syafi’i tidak putus asa, tulang bangkai pun
bisa ia jadikan tempat untuk mencatat semua yang dipelajarinya.
Pada masa kecilnya, Asy-Syafi’i
mencari ilmu tentang syair, sejarah bangsa Arab, dan sastra, hingga beliau
memiliki keunggulan dalam bidang sastra. Selanjutnya, beliau menuntut ilmu
fikih dan menjadi imam dalam bidang itu. Latar belakang yang menyebabkan
Muhammad bin Indri asy-Syafi’i mencari ilmu fikih dikarenakan suatu hari,
beliau mengendarai hewan tunggangannya, sementara di belakang beliau ada
sekretaris Abdulllah az-Zubair. Asy-Syafi’i pun melantunkan sebait syair, namun
sekretaris Abdullah az-Zubair memukulnya dengan cambuk yang dipegangnya, seraya
menghardiknya, “Apakah orang sepertimu akan lenyap kehormatannya untuk hal-hal
seperti ini? Di mana kepahamanmu terhadap ilmu fikih?”
Kata-kata itu menggoncangkan
perasaan Asy-Syafi’i dan beliau terdiam sebentar. Maka Allah SWT memberinya
hidayah untuk menuntut ilmu fikih. Beliau segera berangkat dan menjadi murid
az-Zanji bin Khalid, seorang mufti di Makkah. Kemudian beliau belajar kepada
Malik bin Anas, Imam kampung Hijrah, Madinah.
Misalnya diibaratkan dengan keadaan zaman sekarang gini nih alur ceritanya seorang pemuda berkendara dengan sepeda motornya sambil bernyanyi tanpa ia sadari lewat seorang ustadz menepuk pundaknya seraya berkata inikah yang kamu pelajari? Berapa banyak sudah kamu ketahui tentang al-quran? Mana bekalmu untuk akhirat nanti? pak ustadz kemudian mempercepat kendaraannya dan meninggalkan pemuda tersebut dibelakangnya. Pemuda itu tercengang, ia teringat pertanyaan yang dilontarkan pak ustadz tadi. Apa yang sudah aku pelajari tentang agamaku, apa yang sudah ku perbuat, berapa banyak ayat Al-quran dan hadis yang aku ketahui. Ahh mana mungkin bisa begini, lirik lagu puluhan bisa aku nyanyikan tapi al-quran? Tidak! Tidak! Tidak!!! Aku harus berubah. Harus! (semoga ada ya pemuda yang begini, amin :) )
Misalnya diibaratkan dengan keadaan zaman sekarang gini nih alur ceritanya seorang pemuda berkendara dengan sepeda motornya sambil bernyanyi tanpa ia sadari lewat seorang ustadz menepuk pundaknya seraya berkata inikah yang kamu pelajari? Berapa banyak sudah kamu ketahui tentang al-quran? Mana bekalmu untuk akhirat nanti? pak ustadz kemudian mempercepat kendaraannya dan meninggalkan pemuda tersebut dibelakangnya. Pemuda itu tercengang, ia teringat pertanyaan yang dilontarkan pak ustadz tadi. Apa yang sudah aku pelajari tentang agamaku, apa yang sudah ku perbuat, berapa banyak ayat Al-quran dan hadis yang aku ketahui. Ahh mana mungkin bisa begini, lirik lagu puluhan bisa aku nyanyikan tapi al-quran? Tidak! Tidak! Tidak!!! Aku harus berubah. Harus! (semoga ada ya pemuda yang begini, amin :) )
Pemuda itu pasti ada, meskipun
perubahannya dikarenakan kejadian yang bermacam-macam. Itulah pentingnya kita
saling mengingatkan satu sama lain, saling menasehati dan saling mengasihi.
“Barang siapa melihat
kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Jika ia tidak mampu,
hendaklah (ia mengubahnya) dengan lisannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan
hatinya. Dan itulah selemah-lemahnya iman” (HR. Muslim).
Sumber : Buku Keagungan Imam Asy-Syafi'i
0 comments