Sejarah Masjid dan Tongkat Po Teumeureuhom di Pidie

January 12, 2016



Hari ini arah mata angin membawa saya ke salah satu masjid bersejarah di Pidie, Aceh.  Masjid yang dibangun pada masa Sultan Iskandar Muda ini konon katanya sudah berumur ratusan tahun, tapi masih berdiri kokoh dan tegap  hingga sekarang. Letaknya tidak terlalu jauh dari pusat kota, lebih kurang 4 km sebelah Barat Kecamatan Kota Sigli. Masjid bersejarah ini sudah beberapa kali saya lewati, tapi baru hari ini honda terparkir dihalamannya dan telapak kaki menyentuh dinginnya keramik masjid.

Tanah seluas 7396.00 m2 ini dulunya berdiri satu masjid yang diberi nama Masjid Po Teu Meureuhom. Kala itu Po Teumeureuhom, Sultan Iskandar Muda bersama masyarakat membangun masjid ini secara bergotong royong, bahkan kabarnya masyarakat dulu bersedia berbaris memanjang sekitar 30 kilometer untuk mengangkat batu secara estafet dari kecamatan Muara Tiga ke Labui ini. Bangunan masjid masa itu berbeda dengan masjid yang kamu lihat di foto sekarang. Dulu atap masjid terbuat dari kayu rumbia dan dindingnya dari batu bercampur kapur.




Seiring jarum jam berputar, masjid ini pun mengalami perubahan pada nama dan bangunan masjid. Informasi yang saya dapat, saat Gubernur Aceh dijabat Prof Syamsuddin Mahmud tahun 1980, Pak Gubernur meminta supaya bangunan masjid dibangun baru, dengan syarat tidak membongkar bangunan lama masjid tersebut. Maka jadilah masjid lama digeser ke samping bangunan masjid baru sebagai alternatifnya.  Nurdin AR atau lebih dikenal “Bapak Jango” yang menjabat sebagai Bupati Pidie masa itu selain sebagai orang yang meletakkan batu pertama pembangunan masjid baru, beliau juga yang mengganti nama masjid dari Masjid Raya Po Teumeureuhom menjadi Masjid Raya Labui.




Dalam masjid saya bertemu dengan Tengku Muhammad Yasin Yunus, beliau seorang imuem syiek sekaligus penjaga masjid Labui. Saya memanggilnya Abusyiek karena usianya sudah memasuki angka 77 tahun. Walau sudah paruh paya, beliau masih sangat kuat mengayuh sepeda ontelnya menuju masjid dan mengkumandangkan azan zuhur disana. Ingatan abusyiek pun tidak berkerut-kerut seperti keriput pada wajah dan tangannya.  



Pria kelahiran grong-grong tahun 1937 ini mengatakan bahwa dulunya tanah masjid ini lebih luas dari sekarang, warung depan masjid juga termasuk kawasan masjid. Pada masa Poteumeureuhom,  Sultan Iskandar Muda sering singgah ke masjid dan masjid Labui  pernah dijadikan sebagai masjid kerajaan Pedir atau masjid kabupaten. Tak hanya itu, Po Teumeureuhom juga membangun benteng pertahanan yang melingkari masjid. Orang zaman dulu menyebutnya diwai. Diwai adalah susunan batu karang yang direkat dengan campuran tanah liat, pasir dan kapur. Diduga dinding benteng ini cukup tinggi, ketebalan yang dapat diukur dari sisa yang ada adalah 2,4. 





Sultan Iskandar Muda yang memerintah Kerajaan Aceh Darussalam 1607–1636 banyak membangun masjid sebagai wujud pembinaan persatuan umat. Kemanapun baginda pergi, tempat singgah yang baginda utamakan pastilah masjid.  Itulah sebabnya dalam masyarakat berkembang ungkapan: “Si ge geulangkah Po Teumeureuhom saboh meuseujid teudong”. Maksudnya, setiap kali Po Teumeureuhom melangkah satu masjid berdiri.



Menariknya lagi masjid ini menyimpan 2 benda bersejarah lainnya yakni tongkat pemberian sultan Iskandar muda dan mimbar masjid. Tongkat kuningan peninggalan  Po Teumeureuhom memiliki panjang 1,2 meter dan berat 5 kilogram serta bentuknya beruas-ruas seperti batang tebu dan tongkat bagian bawahnya seperti bentuk ujung linggis. Sayangnya saya tidak menanyakan mengenai maksud dari bentuk tongkat tersebut.


Semula tongkat Po Teumeureuhom  dimaksudkan untuk pegangan khatib saat berkhutbah di atas mimbar. Dalam perjalanan waktu, fungsi tongkat itu meluas, terkadang digunakan untuk menyembuhkan penyakit-penyakit tertentu atau prasarana nazar karena mendapatkan kembali barang yang hilang. Bila sembuh, atau ditemukan kembali barang yang hilang, maka yang bersangkutan minum atau menyiramkan diri dengan air rendaman tongkat tersebut. Nah, apa yang dilakukan diatas bukan berarti masyarakat percaya bahwa tongkat ini memiliki khasiat atau keajaiban. Tetapi prilaku demikian didasarkan pada pandangan bahwa dalam menjalankan amar ma’ruf nahi munkar kita sepantasnya bertopang pada kekuasaan Allah swt.  Maksudnya apapun yang akan dikerjakan, mintalah bantuan pada Tuhan Yang Esa, sebelumnya bertongkatlah pada Tuhan agar tercapai apa yang diinginkan. “Kesembuhan datangnya dari Allah, tongkat hanya prasarananya saja, semua itu kembali kepada niat” jelas abusyiek.  

Kondisi tongkat saya liat ada retakkan dibagian atasnya, mungkin karena alasan itu pula tongkat disimpan dalam lemari dan sesekali saja digunakan. Tahukah umur tongkat sekarang berapa? Coba saja hitung sendiri ya.


Satu lagi peninggalan sejarahnya adalah mimbar dari kayu berukir hasil karya pengrajin asal Cina sekitar tahun 1612 M. Seiring berjalannya waktu, pengurus Masjid Raya Labui terus mempercantik mimbar tersebut dengan melapisi cat warna emas pada mimbar. Mimbar sekarang tampak lebih baru padahal usia mimbar telah mencapai ratusan tahun. 



Kini kegiatan kemasjidan dialihkan ke masjid baru. Dalam komplek Masjid Labui juga terdapat sebuah Diniyah Islamic Center. Tidak heran jika komplek masjid tersebut terdapat banyak bale di samping kanan dan kiri masjid. Letak masjid berbatasan dengan kawasan persawahan Blang Meuseujid, sehingga suasana nyaman sangat terasa saat berada di sana. Rindangnya pohon-pohon kayu besar pun tak henti-hentinya mengibas angin sejuk  dan memberi perlindungan dari sengatan terik matahari siang.


Jika sudah tiba di masjid ini jangan lewatkan kesempatan untuk nyicipin mie caluek khas Pidie di warung depan masjid. InsyaAllah sepiring mie akan menganjal perut kamu. Tidak hanya mie caluek, disini juga tersedia lontong, tape, mie urap, risol dan jajanan cemilan lainnya. Harganya pun sangat ekonomis, biasanya mulai buka jam 07.30 pagi sampai siang.



Ada satu hal yang sangat mengena ketika hendak keluar menuju pintu gerbang masjid. Satu nasehat yang sarat makna mengenai betapa utamanya ilmu. Dipamplet itu bertuliskan “Leubeeh  get tamano reuoh watee ta meureunou nibak reugoe sipanyang masa” (Lebih baik mandi keringat diwaktu menuntut ilmu ketimbang rugi sepanjang masa). Maksudnya kalaupun sekarang ini kita merasa lelah dan kesulitan ketika sedang belajar namun jangan pernah berpikir untuk berhenti tetapi teruslah berusaha, karena sesungguhnya dibalik usaha akan selalu ada hasil yang menyertainya. Inilah nasehat bagi kita semua untuk tetap belajar sekalipun itu sangat sulit, karena jika tidak belajar hari ini, besok mungkin kita akan menjadi orang yang merugi dan menyesal sepanjang masa. Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang haus ilmu dan mengamalkannya. Amin


You Might Also Like

0 comments