MUHASABAH DIRI dan BERAKHLAK MULIA

January 05, 2015

sumber : http://illbeyourpaparazzi.com
Hari terus bertambah, dan jatah usia semakin menipis untuk kita. Tahun baru lagi, entah sudah berapa hitungan kita lalui. Sudahkah kedewasaan menjadi milik kita?
Usia tua dan kedewasaan, ternyata di banyak kasus tak bisa dikumpulkan pada sosok yang satu. Pada satu sosok, kita menjumpai seseorang dengan usia yang sudah cukup matang, tapi kedewasaan yang dimilikinya demikian mentah. Pada sosok yang lain, justru sebaliknya. Nampak masih muda, tapi jiwa dan perasaannya demikian tua. Menjadi tua, tak selamanya berarti menjadi dewasa.   

Berapa banyak sudah ilmu yang kita pelajari? Dari sekian banyak ilmu yang sudah kita pelajari, berapa persen yang telah meningkatkan kualitas hidup kita? Cara berpikir kita? Sikap kita? yah pertanyaan itu yang selalu ku tanyakan pada diriku sendiri. 
Belajar ada, tapi tak lama setelah belajar lupa lagi, lepas tu belajar lagi, baca lagi, ingat lagi. ingatnya itu sikit pula. tapi syukur bila ada baca, adalah kita tau walaupun ngak banyak. (kenape macem ni logatnye, suke la cakep pake bahasa malaye) :D 
Mudah-mudahan kita seperti kalimat yang pernah disabdakan oleh Rasulullah, “Allah akan membahagiakan seseorang yang mendengar ucapanku, kemudian dia sadar dan melaksanakannya seperti yang didengarnya.”

Akhlak yang mulia, untuk itulah Rasulullah diutus pada manusia. Dalam dirinya berkumpul sifat-sifat mulia. Rasa malu yang tinggi, murah hati, berani, penuh kejujuran, sungguh-sungguh dalam segala hal, santun dan ramah, lemah lembut, dan sangat mencintai keindahan dan kebersihan. Karena itu Rasulullah, pernah bersabda, “orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya.” Semoga Allah menjadikan kita sebagai orang – orang yang bertambah baik akhlaknya, setiap kali umur kita bertambah dan jatah hidup kita berkurang. Menyatukan sikap-sikap mulia dalam diri kita. Seperti uswah yang telah dicontohkan Rasulullah tercinta.

Rasulullah adalah sosok dengan pribadi sangat pemalu, tapi sekaligus sosok yang tak pernah kehilangan percaya diri. Sedangkan kita kini, rasa malu kita nyaris tipis. Rasulullah adalah seseorang yang berani tapi juga sangat rendah hati. Tapi kita, jika sudah berani, begitu sombong dan lupa diri. Rasulullah adalah sosok yang lemah lembut, santun dan ramah. Tapi kita, baru sedikit saja yang kita pahami, seolah-olah telah tahu seluruh isi dunia dan kehidupan di dalamnya. 

Dalam salah satu riwayatnya, Imam Muslim mengutip perkataan dari Abu Hurairah yang pernah mendengar sebuah hadits dari Rasulullah. Sebuah hadits tentang orang-orang dan golongan manusia yang kelak akan menghadap dan diadili pertama kali di depan Allah SWT. Sesungguhnya, orang pertama kali yang disidang ada hari kiamat adalah orang yang mati syahid. Dia dihadapkan pada nikmat-nikmatnya dan dia mengenalnya. Lalu Allah bertanya, “Apa yang engkau lakukan dengan semua ini?
Lalu si fulan menjawab, “Aku telah berperang demi engkau, hingga aku mati syahid.” Tapi Allah menolak kesaksiannya. “Engkau bohong. Engkau berperang agar disebut sebagai seorang pemberani. Lalu Allah memerintahkan si fulan untuk diseret ke dalam api neraka. 

Ternyata, apa yang kita anggap sebagai sebuah kebaikan, belum tentu murni dihitung sebagai kebaikan. Karenanya kita harus senantiasa menjaga diri, dari segala kemungkinan yang akan mengugurkan amal-amal besar kita laksana debu yang berterbangan. Berhati-hati adalah bentuk kesadaran yang akan mengantarkan kita pada kedewasaan dalam meniti kehidupan.

Masih dalam hadits yang sama, Abu Hurairah mengutip sabda Rasulullah. Setelah para syahid, giliran berikutnya yang dipanggil untuk bersaksi adalah para pencari ilmu yang mengajarakannya dan juga yang membacakan Al-quran. Dihadapkan kepada mereka nikmat-nikmatnya dan dia mengenalinya. “Apa yang engkau lakukan dengan semua ini,” tanya Allah pada si fulan.
         “Aku telah belajar ilmu, mengajarkannya dan membaca al-quran demi Engkau semata,” jawab si fulan. Tapi Allah menolak kesaksiannya. “Engkau bohong. Engkau belajar agar dikatakan sebagai seorang qari.” Lalu Allah memerintahkannya diseret ke dalam  neraka. 

Betapa rentan kesadaran manusia. Sehingga ia harus terus menerus membersihkannya. Satu niat buruk senantiasa mengancam untuk menyusup dan menelisik ke dalam perbuatan baik. Lalu karenannya perbuatan baik menjadi lancung. Duhai, orang-orang yang berilmu, mencuci niat dan membersihkan persepsi semoga senantiasa bisa kita lakukan setiap kali. Kebenaran memang mutlak, tapi kadang sikap kita pada kebenaran yang bisa jadi mengantarkan kita pada jalan yang tak kita harapkan.

Golongan ketiga setelah para syahid dan orang-orang berillmu, dalam hadits ini Abu Hurairah menyebutkan golongan orang-orang kaya dan lapang rezeki yang akan diadili. Dia hadapkan nikmat-nikmatnya dan dia pun mengenalinya. “Apa yang engkau lakukan dengan semua ini?” tanya Allah pada si fulan. 

“Aku mendermakannya di jalan yang Engkau ridhai,”jawab si fulan. Tapi Allah menolak kesaksiannya. “Engkau bohong. Engkau menderma agar dikatakan sebagai seorang dermawan.” Kemudian Allah memerintahkannya untuk menjadi penghuni neraka. Sekurang-kurangnya, lima kali dalam sehari kita berikrar pada Allah dan pada diri sendiri, bahwa hidup dan mati kita, amal dan ibadah kita, hanya dilakukan semata-mata dengan satu alasan. Untuk Allah, Tuhan semesta Alam.

Hari ini, kadang kita menemui orang yang mengaku memperjuangkan agama Allah justru orang yang bersikap kasar dan kurang toleran. Kadang kita juga menemui, orang-orang yang berilmu lupa tata cara bersikap santun dengan dalih begitulah kebenaran. Dan seringkali kita menemui, orang-orang yang lapang rezeki memberi dengan harapan mendapat imbalan, baik dalam bentuk nama, status, budi atau imbalan-imbalan yang lain lagi. 

Kesadaran berkorelasi sangat erat dengan budi pekerti. Kesadaran yang tinggi, insya Allah menggantarkan kita pada prilaku mulia. Perilaku adalah buah dari kesadaran. “Dan kerjakanlah perbuatan baik, sesungguhnya aku melihat apa yang kalian kerjakan.” (QS Saba:11)
Kesadaran harus terus menerus menjadi milik kita. Ketika kita memberi, kesadaran memberi karena Allah harus menjadi motivasi satu-satunya. Ketika kita mengajar, kesadaran berbuat karena Allah harus menjadi satu-satunya tujuan. Dan ketika kita membela agama ini, satu-satu motivasi yang harus kita jaga tanpa henti adalah hanya untuk Allah. 

Sungguh, watak dan karakter manusia tak pernah satu dan berbeda-beda jenisnya. Ketika kita memberi, kadang mereka membalasnya dengan rasa terima kasih. Tapi tak jarang mereka justru berburuk sangka dan curiga. Perbuatan baik mendapat balasan perbuatan buruk yang tak diduga sama sekali pada awalnya. Karenanya, luruskan niat dengan kesadaran yang tinggi hanya untuk Allah semata-mata. Berharap pada manusia, kelak kita akan menuai kecewa. Bersandar pada Allah, insya Allah kita akan menemukan sandaran yang kita akan menemukan sandaran yang besar lagi kokoh.

You Might Also Like

0 comments