Sabang I'm in Love #part2

September 20, 2015


Snorkeling baiknya dilakukan di siang hari karena sangat mengandalkan sinar matahari. 

Setelah setengah jam lebih berenang diatas permukaan air, tiba-tiba kaki terasa keram dan sulit digerakkan. Syukurnya ada pelampung,  memudahkan saya bergerak mencari tempat untuk menepi. Teman-teman berusaha membantu, syukur keramnya tidak terlalu parah jadi masih bisa saya kendalikan sendiri. saya menepi ke pinggiran bot yang terikat di tengah laut,  jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat awal saya mengapung. Bot ini sedikit berbeda dari bot biasanya, ukurannya lebih lebar dan luas. Bot  mati ini disediakan untuk tempat penyinggahan para penyelam, khusus untuk istirahat, diatasnya ada dua kursi panjang dan beratap seng. 

Bot untuk beristirahat dan bersantai



Ada seorang bapak duduk diatas bot tersebut, ia berusaha menolong saya naik ke atas botnya. Seakan ia tahu bahwa saya butuh bantuannya. 

Saya masih kesulitan naik ke atas padahal sebelah tangan sudah mengengam tangannya. Ia menyarankan untuk melepas sepatu katak supaya lebih mudah naik keatas. Benar seperti katanya, usai meletakkan sepatu katak diatas bot, saya pun lebih mudah bisa naik ke atas. “Terimakasih pak”,. “Iya nak, nada suara ramah itu menjawab. 

Lah na bapak,menyoe han mungken trep lom lon jeut ek keuno (syukur ada bapak, kalau tidak mungkin lama lagi saya baru bisa naik ke atas). sapa saya padanya. Sengaja menggunakan bahasa Aceh, agar ia berbicara bahasa Aceh. Sebab pengunjung yang datang ke Sabang tidak hanya dari Aceh saja tapi juga dari berbagai daerah diluar Aceh. Jadi masyarakat sekitar umumnya menggunakan bahasa Indonesia  ketika hendak berbicara dengan tamu. Dengan berbahasa Aceh, saya menunjukkan bahwa kami sedaerah, jadinya ia tak perlu ragu menggunakan bahasa daerah. Biasanya bila berbicara mengunakan bahasa daerah sendiri kita akan lebih akrab dan leluasa, seakan berbicara bersama saudara sendiri, padahal tidak saling kenal sebelumnya. 


Kami berbincang-bincang banyak, mulai tentang masyarakat yang tinggal di pulau Aceh sampai keadaan laut pulau Rubiah. Sayangnya saya lupa nama bapak itu, terlalu pede menyimpan semuanya didalam memori kepala. Alhasil sebagian informasi rontok dalam perjalanan pulang kembali ke Banda Aceh. 

Anggap saja ya namanya pak din. Saya salut padanya,  di usianya yang tidak muda lagi, rambut putih tumbuh subur di antara rambut hitamnya. Ia tidak mengeluh dan pasrah begitu saja pada nasib, ia tetap bekerja meskipun yang didapatnya tidak seberapa. Berapapun yang didapat slalu ia syukuri, hingga cukup untuk kebutuhan sehari-harinya. Wajahnya yang hitam dijilat matahari menjadi bukti pahitnya mencari rezeki dilaut. menunggu dan mengantar penyelam menjadi perkerjaan rutinnya setiap hari. terkadang jika siang harinya sepi pengujung, ia pergi memancing di malam hari. Hasil yang didapat pun lumayan katanya. Bila hasil pancingannya banyak, sebagian dijual dan sebagian lagi dibawa pulang kerumah. Pak din tinggal disamping mesjid, katanya rumahnya sekitar itu. Ia juga menawari untuk singgah kerumahnya, bahkan jika pergi nanti ada ikan gurita dirumah hasil tangkapannya semalam. Beliau bukanlah asli orang sabang, semenjak menikah dengan wanita Sabang ia memutuskan untuk menetap di pulau surganya para penyelam.  




Setelah  saya ceritakan asal dan tujuan kedatangan ke sabang merupakan serangkaian kegiatan dari organisasi kampus. Pak din lalu bercerita bahwa salah satu anaknya baru saja masuk kuliah di salah satu kampus di Sabang. Dari raut wajahnya saya melihat  sebongkah senyum dan perasaan bahagia. Dengan senang hati ia menceritakan tentang anaknya yang  kini duduk bangku kuliah. Begitulah orang tua, jikalaupun mereka susah, cukuplah mereka saja yang merasakannya.  Mereka berharap anak-anaknya tidak bekerja melaut seperti ayahnya. Mereka menginginkan masa depan anaknya jauh lebih baik dari nasib orang tuanya.

Iboih dan Pulau Rubiah di seberangnya bila dilihat dari udara tampak seperti bentuk huruf U, Iboih berada di bagian dalam lengkungan sisi kiri. Letak geografisnya mengisyaratkan keterbukaan untuk datang dan pergi kapan pun itu. Bahkan tsunami pun tak begitu banyak berdampak di sini, karena Iboih tersembunyi. Kondisi terumbu karang dulunya jauh lebih baik sebelum tsunami melanda aceh. tsunami bukanlah satu-satunya penyebab kerusakan terumbu karang, ulah perombak ikan juga menjadi penyebab hancurnya rumah ikan serta berkurangnya populasi ikan. Begitu informasi yang saya terima dari pak din.

Ketika sedang asik bicara, tiba-tiba anggi salah seorang dari anggota organisasi sekaligus sahabat  muncul di sebelah bot dan memanggil saya, tampaknya ia kelelahan berenang terus. Pak din membantu saya menarik anggi ke atas bot. Jadilah kami bertiga duduk diatas bot dan berbincang-bincang lagi dengan pak din. Tak lama kemudian muncul dua penyelam dari dalam laut. Ternyata orang bule, mereka berbicara bahasa asing. Lalu pak din meninggalkan kami, dengan bot mesin ia membawa dua bule tadi ke pantai Iboih. Tinggalah kami berdua diatas bot, saya dan anggi sepakat untuk duduk saja diatas bot, sembari menikmati pemandangan laut dan langit. Sesekali kami tertawa-tertiwi melihat tingkah teman-teman yang masih setia bersama pelampung berenang diatas permukaan air.






Hari keempat, hari keberangkatan kami pulang kembali ke Banda Aceh. Pagi-pagi buta kami sudah bangun, usai shalat subuh kami langsung melaju kendaraan menuju pelabuhan Balohan. Tak lupa pula beli Oleh-oleh, makanan khas Sabang. kalo yang ini musti dan wajib dibeli :)
Begitulah segepok cerita saya dari Sabang. Pertama kali melihat sudah jatuh cinta padanya. Sabang I'm in Love ~.~ 



Sabang I'm in Love #part1 

You Might Also Like

0 comments