Snorkeling baiknya dilakukan di siang
hari karena sangat mengandalkan sinar matahari.
Setelah setengah jam lebih berenang diatas permukaan
air, tiba-tiba kaki terasa keram dan sulit digerakkan. Syukurnya ada pelampung,
memudahkan saya bergerak mencari tempat untuk menepi. Teman-teman berusaha
membantu, syukur keramnya tidak terlalu parah jadi masih bisa saya kendalikan
sendiri. saya menepi ke pinggiran bot yang terikat di tengah laut,
jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat awal saya mengapung. Bot ini sedikit
berbeda dari bot biasanya, ukurannya lebih lebar dan luas. Bot mati ini
disediakan untuk tempat penyinggahan para penyelam, khusus untuk istirahat,
diatasnya ada dua kursi panjang dan beratap seng.
Bot untuk beristirahat dan bersantai |
Ada seorang bapak duduk diatas bot tersebut, ia
berusaha menolong saya naik ke atas botnya. Seakan ia tahu bahwa saya butuh bantuannya.
Saya masih kesulitan naik ke atas padahal sebelah
tangan sudah mengengam tangannya. Ia menyarankan untuk melepas sepatu katak
supaya lebih mudah naik keatas. Benar seperti katanya, usai meletakkan sepatu
katak diatas bot, saya pun lebih mudah bisa naik ke atas. “Terimakasih pak”,.
“Iya nak, nada suara ramah itu menjawab.
Lah na bapak,menyoe han mungken trep lom lon jeut ek
keuno (syukur ada bapak, kalau tidak mungkin lama lagi saya baru bisa naik ke
atas). sapa saya padanya. Sengaja menggunakan bahasa Aceh, agar ia
berbicara bahasa Aceh. Sebab pengunjung yang datang ke Sabang tidak hanya dari
Aceh saja tapi juga dari berbagai daerah diluar Aceh. Jadi masyarakat sekitar
umumnya menggunakan bahasa Indonesia ketika hendak berbicara dengan tamu.
Dengan berbahasa Aceh, saya menunjukkan bahwa kami sedaerah, jadinya ia tak
perlu ragu menggunakan bahasa daerah. Biasanya bila berbicara mengunakan bahasa
daerah sendiri kita akan lebih akrab dan leluasa, seakan berbicara bersama
saudara sendiri, padahal tidak saling kenal sebelumnya.
Kami berbincang-bincang banyak, mulai tentang
masyarakat yang tinggal di pulau Aceh sampai keadaan laut pulau Rubiah.
Sayangnya saya lupa nama bapak itu, terlalu pede menyimpan semuanya didalam memori
kepala. Alhasil sebagian informasi rontok dalam perjalanan pulang kembali ke
Banda Aceh.
Anggap saja ya namanya pak din. Saya salut padanya,
di usianya yang tidak muda lagi, rambut putih tumbuh subur di antara
rambut hitamnya. Ia tidak mengeluh dan pasrah begitu saja pada nasib, ia tetap
bekerja meskipun yang didapatnya tidak seberapa. Berapapun yang didapat slalu
ia syukuri, hingga cukup untuk kebutuhan sehari-harinya. Wajahnya yang hitam
dijilat matahari menjadi bukti pahitnya mencari rezeki dilaut. menunggu dan
mengantar penyelam menjadi perkerjaan rutinnya setiap hari. terkadang jika
siang harinya sepi pengujung, ia pergi memancing di malam hari. Hasil yang
didapat pun lumayan katanya. Bila hasil pancingannya banyak, sebagian dijual
dan sebagian lagi dibawa pulang kerumah. Pak din tinggal disamping mesjid,
katanya rumahnya sekitar itu. Ia juga menawari untuk singgah kerumahnya, bahkan
jika pergi nanti ada ikan gurita dirumah hasil tangkapannya semalam. Beliau
bukanlah asli orang sabang, semenjak menikah dengan wanita Sabang ia memutuskan
untuk menetap di pulau surganya para penyelam.
Setelah saya ceritakan asal dan tujuan
kedatangan ke sabang merupakan serangkaian kegiatan dari organisasi kampus. Pak
din lalu bercerita bahwa salah satu anaknya baru saja masuk kuliah di salah
satu kampus di Sabang. Dari raut wajahnya saya melihat sebongkah senyum
dan perasaan bahagia. Dengan senang hati ia menceritakan tentang anaknya yang
kini duduk bangku kuliah. Begitulah orang tua, jikalaupun mereka susah,
cukuplah mereka saja yang merasakannya. Mereka berharap anak-anaknya
tidak bekerja melaut seperti ayahnya. Mereka menginginkan masa depan anaknya
jauh lebih baik dari nasib orang tuanya.
Iboih dan Pulau Rubiah di seberangnya bila dilihat
dari udara tampak seperti bentuk huruf U, Iboih berada di bagian dalam
lengkungan sisi kiri. Letak geografisnya mengisyaratkan keterbukaan untuk
datang dan pergi kapan pun itu. Bahkan tsunami pun tak begitu banyak berdampak
di sini, karena Iboih tersembunyi. Kondisi terumbu karang dulunya jauh lebih
baik sebelum tsunami melanda aceh. tsunami bukanlah satu-satunya penyebab
kerusakan terumbu karang, ulah perombak ikan juga menjadi penyebab hancurnya
rumah ikan serta berkurangnya populasi ikan. Begitu informasi yang saya terima
dari pak din.
Ketika sedang asik bicara, tiba-tiba anggi salah
seorang dari anggota organisasi sekaligus sahabat muncul di sebelah bot
dan memanggil saya, tampaknya ia kelelahan berenang terus. Pak din membantu
saya menarik anggi ke atas bot. Jadilah kami bertiga duduk diatas bot dan
berbincang-bincang lagi dengan pak din. Tak lama kemudian muncul dua penyelam
dari dalam laut. Ternyata orang bule, mereka berbicara bahasa asing. Lalu pak
din meninggalkan kami, dengan bot mesin ia membawa dua bule tadi ke pantai Iboih. Tinggalah kami berdua diatas bot, saya dan anggi sepakat untuk duduk
saja diatas bot, sembari menikmati pemandangan laut dan langit. Sesekali kami
tertawa-tertiwi melihat tingkah teman-teman yang masih setia bersama pelampung
berenang diatas permukaan air.
Hari keempat, hari keberangkatan kami pulang kembali
ke Banda Aceh. Pagi-pagi buta kami sudah bangun, usai shalat subuh kami
langsung melaju kendaraan menuju pelabuhan Balohan. Tak lupa pula beli
Oleh-oleh, makanan khas Sabang. kalo yang ini musti dan wajib dibeli :)
Begitulah segepok cerita saya dari Sabang. Pertama
kali melihat sudah jatuh cinta padanya. Sabang I'm in Love ~.~
Sabang I'm in Love #part1