Beranda

January 31, 2017

PERAYAAN IMLEK DI NEGERI SYARIAT ISLAM

Ritual keagamaan di Vihara Dharma Bakti, Banda Aceh | sumber foto : ig @radennys92




Pagi itu hari Sabtu, tidak seperti biasanya Afwan anak Ibu kos tidak mengenakan seragam sekolah TK nya, saya bertanya; Afwan ngak sekolah hari ni?
Afwan : hari ini kan libur, tanggal merah
Saya : ???, tanggal merah?

Tanggal merah apa ya pikir saya dalam hati, sejenak saya baru ingat hari ini tanggal 28 Januari  hari raya Imlek. Kemudian saya terbayang Barongsai, biasanya hari raya Imlek ada Barongsai di Peunayong. Lalu, pergilah saya bersama ibu kos ke Peunayong. Berbeda dengan dulu, sekarang jarak tempat saya tinggal lebih dekat dengan Peunayong. Jujur saya penasaran ingin melihat langsung tarian singa, atau yang sering kita sebut Barongsai. Selama ini hanya menonton pertunjukkannya  di televisi. 

Sampai di pelantaran toko Peunayong sudah ada puluhan orang memadati jalan. Tampak beberapa anggota kepolisian menjaga keamanan dan menertibkan arus lalu lintas.  Para penonton kebanyakan beragama Islam, hal itu terlihat dari beberapa wanita yang mengenakan jilbab berdiri menyaksikan aksi Barongsai yang berlangsung di depan toko milik salah seorang  warga Tionghoa. 

 
suasana atraksi Barongsai di Peunayong, Banda Aceh | sumber foto : koleksi pribadi

Karena banyaknya kerumunan orang disekitar Barongsai, jadi saya hanya bisa melihat dari jarak 4 meter, meski begitu ini jauh lebih nyata ketimbang nonton di televisi. : ) Sama halnya seperti di televisi, atraksi Barongsai yang saya lihat diiringi dengan alat instrument, para pemainnya duduk dalam mobil tanpa atap. Alat musik seperti tambur, gong dan gembreng dipukul setiap kali Barongsai melakukan gerakan. 

Suara tabuh gendang menggema, setiap gerakan Barongsai menarik perhatian penonton khususnya bagi anak-anak. Apalagi disaat Barongsai menarik dan memakan satu-persatu amplop berwarna merah (angpao) yang digantung di pintu masuk toko. Penonton tampak antusias dan mendokumentasikan setiap gerakan Barongsai di smartphone masing-masing. 

warga memanfaatkan moment berfoto bersama Barongsai | sumber foto : ig @aldydej

Hari itu tidak ada kericuhan, ritual ibadah warga Tionghoa menyambut tahun baru Imlek berjalan dengan tenang dan damai. Kegiatan ini justru menarik perhatian warga, sebab kesenian Tionghoa ini menjadi pemandangan langka, karena hanya diadakan setahun sekali di kota Banda Aceh. Masyarakat Aceh cukup sadar bahwa perbedaan bukanlah alasan untuk membenci dan mencela. Menghargai keanekaragaman yang ada merupakan kewajiban seorang muslim. Tentu saja selama pihak lain juga memiliki sikap saling menghargai.  


Pemandangan kampung Peunayong dari udara | sumber foto : ig @kotabandaaceh

Awal mula keberadaan kampung Cina di Peunayong

Hubungan antara Aceh dan Cina telah terjalin sejak abad ke 17 M. Saat itu para pedagang dari Cina silih berganti datang ke Aceh. Mereka ada pedagang musiman dan ada juga yang permanen. Mereka tinggal di perkampungan Cina ujung kota dekat pelabuhan. Lokasi yang dulu digunakan etnis Cina sebagai tempat menurunkan barang sebelum didistribusikan kini dikenal dengan nama Peunayong. 

Cheng Ho, seorang laksamana dari kerajaan Cina pada masa dinasti Ming selama menjabat Laksama telah melakukan tujuh kali ekspedisi ke Samudera Barat sampai ke Afrika (1405-1433). Dalam catatannya, Cheng Ho pernah singgah di Pasai dan Pulau Weh (Sabang). Di Pasai, ia menyerahkan Lonceng Cakradonya kepada Sultan sebagai tanda persahabatan antara Cina dengan kerajaan Pasai. Sekarang lonceng tersebut berada di depan Museum Negeri Aceh di Banda Aceh. 


Lampion menghiasi atap pasar Peunayong | sumber foto: koleksi pribadi 


Kata Peunayong sendiri berasal dari kata peu dan payong, yang berarti memayungi, melindungi. Dalam sebuah hikayat disebutkan, Peunayong merupakan tempat Sultan Iskandar Muda memberikan perlindungan atau menjamu tamu kerajaan yang datang dari Eropa dan Tiongkok. Itulah bukti sejarah hubungan yang pernah terjalin antara Cina dan Aceh.

Kini penduduk Cina paling banyak tinggal di Peunayong, hal itulah yang menyebabkan masyarakat Banda Aceh melabelkan Peunayong sebagai Kampung Cina. Kota tua yang terletak empat kilometer dari utara Mesjid Raya Baiturrahman. 

kue khas hari raya Imlek | sumber foto : aktual.com


Adakah kue keranjang di Aceh?

Kue keranjang adalah salah satu makanan khas hari raya orang Cina. Kue ini terbuat dari tepung ketan dan gula , serta mempunyai tekstur yang kenyal dan lengket. Selain itu, bentuknya yang bulat bermakna agar keluarga yang merayakan Imlek tersebut dapat terus bersatu, rukun dan bulat tekad dalam menghadapi tahun yang akan datang. Lalu ada tidak kue keranjang di Aceh?

Karena ingin tahu saya pun bertanya kepada pemilik toko kue asli keturunan Tionghoa yang berlokasi di Peunayong. Berdasarkan informasi, kue keranjang memang ada di Aceh, kue keranjang hanya dijual di hari perayaan imlek saja. Namun persedian kue keranjang tidak banyak karena tidak diproduksi di Banda Aceh, biasanya mereka pesan khusus dari  Medan. 

Syariat Islam menghargai Pluralitas

Di kota yang terletak di pinggir Krueng Aceh inilah hidup beragam etnis dengan beragam agama dan kepercayaan. Di dekat vihara buddha sakyamuni terdapat dua vihara lainnya, yaitu Maitri dan Dewi Samudera. Ketiga vihara ini berdampingan dengan gereja protestan indonesia bagian barat. Di dekatnya lagi ada gereja Methodist. Lalu tak jauh dari situ, di ujung jalan Panglima polem berdiri megah sebuah masjid. 

Meskipun Aceh menerapkan syariat Islam, warga etnis Tionghoa tetap bebas melaksanakan ibadah di Vihara maupun Gereja. Ketua Yayasan Hakka Aceh, Kho Khie Siong, mengatakan warga etnis Tionghoa melaksanakan ibadah dengan lancar meskipun tahun ini mendapat pengawalan ketat dari petugas keamanan. Tidak ada larangan perayaan Tahun Baru Imlek dari pemerintah setempat. [Dikutip dari https://news.detik.com/berita/d-3408034/berjalan-lancar-begini-suasana-imlek-di-vihara-dharma-bakti-aceh ]

Tinggal di Aceh yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tidak membuat warga etnis Tionghoa tertekan. Mereka justru mengaku hidup di Serambi Mekah jauh lebih nyaman dan aman dibandingkan provinsi-provinsi lain. Interaksi sosial tetap berjalan dengan baik. Masyarakat meyakini perbedaan adalah sunatullah, sebagaimana firman Allah dalam surat Al kafirun, 
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku. (QS Al Kafirun: 6)

Itulah sepenggal cerita suasana perayaan Imlek yang ada di wilayah paling ujung utara pulau Sumatera. Kalau mau lihat kerukunan di Aceh, datanglah dan lihat kerukunan yang terjalin di Aceh.


Tulisan ini saya ikut sertakan dalam meramaikan Tema lomba blog: “Perayaan Imlek di Indonesiadi sini



sumber reverensi :
http://mediaaceh.co/2017/01/28/18200/warga-banda-aceh-turut-menyaksikan-perayaan-imlek
https://news.detik.com/berita/d-3408034/berjalan-lancar-begini-suasana-imlek-di-vihara-dharma-bakti-aceh
http://widhiaanugrah.com/resep-kue-keranjang-khas-imlek/ 
M.Adli Abdullah, Membedah Sejarah Aceh. Banda Aceh : Bandar Publishing,2011
 

No comments:

Post a Comment