Ritual keagamaan di Vihara Dharma Bakti, Banda Aceh | sumber foto : ig |
Pagi itu hari Sabtu, tidak
seperti biasanya Afwan anak Ibu kos tidak mengenakan seragam sekolah TK nya,
saya bertanya; Afwan ngak sekolah hari ni?
Afwan : hari ini kan libur,
tanggal merah
Saya : ???, tanggal merah?
Tanggal merah apa ya pikir saya
dalam hati, sejenak saya baru ingat hari ini tanggal 28 Januari hari raya Imlek. Kemudian saya terbayang Barongsai, biasanya hari raya Imlek ada Barongsai di Peunayong. Lalu, pergilah
saya bersama ibu kos ke Peunayong. Berbeda dengan dulu, sekarang jarak tempat saya tinggal lebih dekat dengan Peunayong. Jujur saya penasaran ingin melihat langsung tarian
singa, atau yang sering kita sebut Barongsai. Selama ini hanya
menonton pertunjukkannya di televisi.
Sampai di pelantaran toko Peunayong sudah ada puluhan orang memadati jalan. Tampak beberapa anggota kepolisian menjaga keamanan dan menertibkan arus lalu lintas. Para
penonton kebanyakan beragama Islam, hal itu terlihat dari beberapa wanita yang
mengenakan jilbab berdiri menyaksikan aksi Barongsai yang berlangsung di depan
toko milik salah seorang warga Tionghoa.
suasana atraksi Barongsai di Peunayong, Banda Aceh | sumber foto : koleksi pribadi |
Karena banyaknya kerumunan orang
disekitar Barongsai, jadi saya hanya bisa melihat dari jarak 4 meter, meski
begitu ini jauh lebih nyata ketimbang nonton di televisi. : ) Sama halnya seperti di
televisi, atraksi Barongsai yang saya lihat diiringi dengan alat
instrument, para pemainnya duduk dalam mobil tanpa atap. Alat musik seperti
tambur, gong dan gembreng dipukul setiap kali Barongsai melakukan gerakan.
Suara tabuh gendang menggema, setiap
gerakan Barongsai menarik perhatian penonton khususnya bagi anak-anak. Apalagi
disaat Barongsai menarik dan memakan satu-persatu amplop berwarna merah (angpao) yang digantung di pintu masuk toko. Penonton tampak antusias dan mendokumentasikan
setiap gerakan Barongsai di smartphone masing-masing.
warga memanfaatkan moment berfoto bersama Barongsai | sumber foto : ig @aldydej |
Hari itu tidak ada kericuhan, ritual ibadah warga Tionghoa menyambut tahun baru Imlek berjalan dengan tenang dan damai. Kegiatan ini justru menarik perhatian warga, sebab kesenian Tionghoa ini menjadi pemandangan langka, karena hanya diadakan setahun sekali di
kota Banda Aceh. Masyarakat Aceh cukup sadar bahwa perbedaan bukanlah alasan untuk membenci dan mencela. Menghargai keanekaragaman yang ada
merupakan kewajiban seorang muslim. Tentu saja selama pihak lain juga memiliki
sikap saling menghargai.
Awal mula keberadaan kampung Cina di Peunayong
Hubungan antara Aceh dan Cina
telah terjalin sejak abad ke 17 M. Saat itu para pedagang dari Cina silih
berganti datang ke Aceh. Mereka ada pedagang musiman dan ada juga yang
permanen. Mereka tinggal di perkampungan Cina ujung kota dekat pelabuhan. Lokasi
yang dulu digunakan etnis Cina sebagai tempat menurunkan barang sebelum
didistribusikan kini dikenal dengan nama Peunayong.
Cheng Ho, seorang laksamana dari
kerajaan Cina pada masa dinasti Ming selama menjabat Laksama telah melakukan
tujuh kali ekspedisi ke Samudera Barat sampai ke Afrika (1405-1433). Dalam
catatannya, Cheng Ho pernah singgah di Pasai dan Pulau Weh (Sabang). Di Pasai,
ia menyerahkan Lonceng Cakradonya kepada Sultan sebagai tanda persahabatan antara
Cina dengan kerajaan Pasai. Sekarang lonceng tersebut berada di depan Museum Negeri
Aceh di Banda Aceh.
Lampion menghiasi atap pasar Peunayong | sumber foto: koleksi pribadi |
Kata Peunayong sendiri berasal
dari kata peu dan payong, yang berarti memayungi, melindungi. Dalam sebuah
hikayat disebutkan, Peunayong merupakan tempat Sultan Iskandar Muda memberikan
perlindungan atau menjamu tamu kerajaan yang datang dari Eropa dan Tiongkok. Itulah
bukti sejarah hubungan yang pernah terjalin antara Cina dan Aceh.
Kini penduduk Cina paling banyak
tinggal di Peunayong, hal itulah yang menyebabkan masyarakat Banda Aceh
melabelkan Peunayong sebagai Kampung Cina. Kota tua yang terletak empat
kilometer dari utara Mesjid Raya Baiturrahman.
kue khas hari raya Imlek | sumber foto : aktual.com |
Adakah kue keranjang di Aceh?
Kue keranjang adalah salah satu
makanan khas hari raya orang Cina. Kue ini terbuat dari tepung ketan dan gula ,
serta mempunyai tekstur yang kenyal dan lengket. Selain itu, bentuknya yang
bulat bermakna agar keluarga yang merayakan Imlek tersebut dapat terus bersatu,
rukun dan bulat tekad dalam menghadapi tahun yang akan datang. Lalu ada tidak kue keranjang
di Aceh?
Karena ingin tahu saya pun bertanya kepada pemilik
toko kue asli keturunan Tionghoa yang berlokasi di Peunayong. Berdasarkan informasi, kue keranjang memang ada di Aceh, kue
keranjang hanya dijual di hari perayaan imlek saja. Namun persedian kue
keranjang tidak banyak karena tidak diproduksi di Banda Aceh, biasanya mereka pesan
khusus dari Medan.
Syariat Islam menghargai Pluralitas
Di kota yang terletak di pinggir Krueng Aceh inilah hidup beragam etnis dengan beragam agama dan kepercayaan. Di dekat
vihara buddha sakyamuni terdapat dua vihara lainnya, yaitu Maitri dan Dewi
Samudera. Ketiga vihara ini berdampingan dengan gereja protestan indonesia
bagian barat. Di dekatnya lagi ada gereja Methodist. Lalu tak jauh dari situ,
di ujung jalan Panglima polem berdiri megah sebuah masjid.
Meskipun Aceh menerapkan syariat Islam, warga etnis Tionghoa tetap bebas melaksanakan ibadah di Vihara maupun Gereja. Ketua Yayasan Hakka Aceh, Kho Khie Siong, mengatakan warga etnis Tionghoa melaksanakan ibadah dengan lancar meskipun tahun ini mendapat pengawalan ketat dari petugas keamanan. Tidak ada larangan perayaan Tahun Baru Imlek dari pemerintah setempat. [Dikutip dari https://news.detik.com/berita/d-3408034/berjalan-lancar-begini-suasana-imlek-di-vihara-dharma-bakti-aceh ]
Meskipun Aceh menerapkan syariat Islam, warga etnis Tionghoa tetap bebas melaksanakan ibadah di Vihara maupun Gereja. Ketua Yayasan Hakka Aceh, Kho Khie Siong, mengatakan warga etnis Tionghoa melaksanakan ibadah dengan lancar meskipun tahun ini mendapat pengawalan ketat dari petugas keamanan. Tidak ada larangan perayaan Tahun Baru Imlek dari pemerintah setempat. [Dikutip dari https://news.detik.com/berita/d-3408034/berjalan-lancar-begini-suasana-imlek-di-vihara-dharma-bakti-aceh ]
Tinggal di Aceh yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tidak membuat warga etnis Tionghoa tertekan.
Mereka justru mengaku hidup di Serambi Mekah jauh lebih nyaman dan aman dibandingkan
provinsi-provinsi lain. Interaksi sosial tetap berjalan dengan baik. Masyarakat meyakini perbedaan adalah sunatullah, sebagaimana firman Allah dalam surat Al kafirun,
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku. (QS Al Kafirun: 6)
Itulah sepenggal cerita suasana perayaan Imlek yang ada di wilayah paling ujung utara pulau Sumatera. Kalau mau lihat kerukunan di Aceh, datanglah dan lihat kerukunan yang terjalin di Aceh.
Tulisan
ini saya ikut sertakan dalam meramaikan Tema lomba blog: “Perayaan
Imlek di Indonesia” di sini.
sumber reverensi :
http://mediaaceh.co/2017/01/28/18200/warga-banda-aceh-turut-menyaksikan-perayaan-imlek
https://news.detik.com/berita/d-3408034/berjalan-lancar-begini-suasana-imlek-di-vihara-dharma-bakti-aceh
http://widhiaanugrah.com/resep-kue-keranjang-khas-imlek/
M.Adli Abdullah, Membedah Sejarah Aceh. Banda Aceh : Bandar Publishing,2011
sumber reverensi :
http://mediaaceh.co/2017/01/28/18200/warga-banda-aceh-turut-menyaksikan-perayaan-imlek
https://news.detik.com/berita/d-3408034/berjalan-lancar-begini-suasana-imlek-di-vihara-dharma-bakti-aceh
http://widhiaanugrah.com/resep-kue-keranjang-khas-imlek/
M.Adli Abdullah, Membedah Sejarah Aceh. Banda Aceh : Bandar Publishing,2011
No comments:
Post a Comment