sumber foto : sujj4da [dot] blogspot [dot] com |
Hari ini, setelah berkelana kesana kemari, mencari alamat blogger yang bisa ku singgahi. Akhirnya ku terhenti di salah satu kantor media Islami, kubuka dan kuperhatikan sekelilingnya. Penghuni dan se-isi rumahnya tampak ramai, tapi tidak membuat ku sesak berada didalamnya.
Ada beberapa sajian yang menarik mata, menu sajian itu terus dan terus mengajakku untuk melirik menu yang lain, seperti candu aku terus melahapnya. Ada satu dua tiga tulisan yang ku simpan, menurutku isinya sarat makna dan kerap terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Karena itu aku ingin berbagi cerita ini, semoga bermanfaat.
****
Ini kisah lama. Lebih dari sepuluh tahun lalu kejadiannya. Saya,
Rudi, dan Adi menjadi instruktur pesantren kilat yang diadakan sebuah
SMU favorit di Jakarta. Acara itu diadakan di sebuah vila kawasan
Puncak.
Setelah acara selesai kami bertiga tidak ikut rombongan pulang ke
Jakarta. Saya dan Adi memutuskan ikut Rudi melakukan survei. Rencananya
Rudi akan mengadakan Tafakur Alam untuk lingkup fakultas tempatnya
kuliah. Cibodas, kaki Gunung Gede, tempat yang diincar. Jadi, kami
bertiga melanjutkan perjalanan ke Cibodas.
Sampai di Persimpangan Cipanas-Cibodas kami turun. Hari masih pagi
benar. Rencananya kami sarapan. Di situ ada warung bubur ayam. Enak dan
murah. Cocok dengan isi kantong kami. Setelah dihitung oleh Rudi, imam
safar kami, uang kami hanya cukup untuk sarapan bubur dan ongkos pulang.
Memang jika ada acara keluar kota, kami biasa berjalan berdua atau
bertiga. Kami memilih salah seorang sebagai imam perjalanan. Uang
dikumpulkan. Dengan begitu yang kurang bisa ditutupi oleh yang berlebih.
Sayangnya, di antara kami bertiga saat itu tidak ada yang
berkelapangan. Masing-masing hanya membawa uang pas-pasan. Untuk ongkos
angkot dari Persimpangan Cipanas-Cibodas ke Cibodas pun kami tidak
punya. Jadi, setelah sarapan bubur nasi kami harus jalan kaki ke tempat
tujuan.
Pagi. Dingin. Lapar. Kami harus jalan kaki ke Cibodas. Warung bubur
yang kami incar tidak buka. Perut keoncongan. Kami berjalan, berjalan,
dan berjalan. Sepanjang jalan kami berdzikir. Berdzikir akan menanbah
kekuatan, begitu kata seorang ustadz. Akhirnya, tiba juga kami di
gerbang Cibodas.
Dengan uang jatah sarapan kami beli salak. Jadilah kami sarapan
salak. Setelah itu kami ke areal perkemahan untuk melihat-lihat tempat
yang cocok untuk base camp acara tafakur alam nanti. Tak lupa kami cek
track yang kira-kira menarik untuk dilintasi. Kami memilih jalan ke arah
naik Gunung Gede. Sayang, kami tak punya uang untuk membayar tiket
masuk. Artinya, kami mencari jalan lain. Melintasi lembah, menerabas
semak-semak, mengikuti bekas aliran air hujan, dan menyusuri lereng
bukit. Akhirnya, kami menemukan jalan utama ke Gunung Gede.
Kami tentukan tempat-tempat yang pas untuk pos pemberhentian
nantinya. Akhir, perjalanan adalah telaga. Tentu saja kami mengecek
hingga ke sana. Alhamdulillah, energi dari salak yang kami makan tadi
pagi cukup menggerakan kaki kami hingga ke sana. Kami shalat. Jama’
qashar ta’khir. Usai shalat kami dapati kami adalah rombongan terakhir
di sana. Sebelumnya ada rombongan remaja keturunan Cina. Mereka telah
turun. Asyik sekali mereka berjalan sambil mengunyah coklat.
Saya berkata ke Rudi dan Adi, memang paling enak makan coklat di
cuaca dingin begini. Coklat itu kalori banyak. Tentu tubuh kita tidak
akan kedinginan. Ya, begitulah orang kalau tidak mampu yang sedang
kedinginan dan perut keroncongan. Cuma bisa berangan-angan.
Setelah cukup melihat-lihat kami pun turun. Tapi, belum jauh kami
melangkah, ajaib, ada tiga batang coklat tergeletak di tanah!
Subhanallah! Kami celingukan. Mencari-cari siapa pemilik coklat-coklat
itu. Kami yakin betul tidak ada orang lain. Hanya kami bertiga.
Mungkinkah ini coklat dari langit?
Alhamdulillah, kami dapat mengisi perut kosong kami dengan coklat
itu. Masing-masing satu batang. Alhamdulillah. Dengan tambahan tenaga
dari coklat itu kami berjalan hingga ke Jalan Raya Cipanas. Kami
menunggu bis ke Jakarta. Lama tak kunjung datang. Hujan turun. Kami
basah. Dingin. Tak ada bis ke Jakarta. Hari Ahad semua bis Bandung tidak
lewat Puncak. Semua dialihkan ke jalur Sukabumi atau Purwakarta. Tapi,
kami tak putus asa. Sambil sekali-kali mengacungkan jari ke mobil-mobil
pribadi berplat Jakarta, kami berjalan ke arah Puncak.
Saya berkata ke teman-teman, alangkah indahnya kalau ada bapak-bapak
tanya ke kita, mau kemana dek, kita jawab ke Jakarta. Tidak ada bis.
Sudah nginep saja di vila bapak, besok baru ke Jakartanya. Wah, sedap!
Begitu kata saya.
Rudi dan Adi tertawa. Menertawakan angan-angan saya yang tak mungkin
itu. Tapi, belum berapa jauh kami melangkah tiba-tiba ada suara menegur
kami. Datang dari seorang pemuda kira-kira usianya tiga tahun di atas
kami. Ia menanyakan persis seperti yang saya angan-angankan. “Tidak ada
bis ke Jakarta. Sudah, nginep saja di vila kakak saya,” begitu katanya.
Subhanallah!
Betapa banyak kemurah yang Allah berikan kepada kami. Padahal, tidak
kami memintanya secara sungguh-sungguh. Kami tidak berdoa secara khusus.
Kami hanya berseloroh. Tapi, Allah memberinya lebih. Kami dapat makan
malam gratis, salinan baju kering dan hangat, serta tempat tidur yang
nyaman. Seperti itulah Allah menunjukkan keberadaannya kepada kami.
Muhammad, Jakarta
Note : ALLAh itu ada. Ia lebih dekat daripada urat nadi kita. Ia tahu jahir dan isi batin kita. Ia Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Memberi apa yang kita pinta, memberi apa-apa yang tidak kita pinta.
Sumber : https://www.islampos.com/coklat-dari-langit-2635/
No comments:
Post a Comment